Toba Samosir: Tradisi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Batak
Direktori Wisata – Toba Samosir merupakan daerah destinasi wisata budaya untuk mengenal kearifan lokal masyarakat suku Batak. Di kawasan inilah kita akan mengenal dunia masa lalu dari masyarakat Batak.

Balige dan kecamatan sekitarnya bisa dikatakan pintu gerbang untuk kita melihat jejak budaya Batak Toba. Dan di kawasan Huta Tinggi ada sebuah perkampungan yang akan mengajak kita untuk melihat jejak kepercayaan masyarakat lokal dari dekat. Dan di sana terdapat sekelompok orang yang masih taat memeluk dan menjalankan agama asli Batak yaitu Parmalim. Di sinilah segala aspek keidupan budaya dan religi mengikuti tata cara Permalim. Dan sangat pantaslah bila kawasan Huta Tinggi lalu dianggap sebagai “kampung suci Batak yang tersisa”.
Dari informasi yang saya dapatkan, sebagian orang Batak juga menjuluki Huta Tinggi sebagai Bakara baru. Bakara sendiri merupakan kampung kecil yang indah di tepi Danau Toba, tempat ini terkenal dikarenakan terdapat istana kerajaan Sisingamangaraja, dan merupakan tempat lahir Si Raja batak terakhir yaitu Sisingamangaraja XII dan juga sebagai pahlawan nasional.
Konon, bagi penganut Permalim dianggap sebagai Raja Nasiak pertama, salah satu orang yang paling dihormati karena dianggap sebagai utusan dari Tuhan sendiri dan penebus dosa bagi kepercayaan mereka.
Bila kita masuk ke alam budaya Permalim di Huta Tinggi kita seolah-olah sedang berkelana ke dalam dunai spiritual Batak yang berbunyi, “Ketika matahari tepat di kepala, akan terdengar alunan lembut bunyi serunai yang dipadu dengan kecapi, grantung dan hesek, alat musik tradisional Batak Toba pada saat mereka mengawali ritual hari besar”.
Simbol-simbol budaya Batak terlihat di mana-mana. Dan para kau lelaki yang sudah berkeluarga akan menggunakan tali-tali putih sebagai pengikat kepala tanpa ekor dengan ulos yang disarungkan. Sedangkan untuk kaum perempuannya mereka menggunakan pakaian kebaya Batak dengan rambut yang dilipat rapi ke dalam. Mereka berbaris rapi di halaman bale pasogit yang menrupakan balai asal-usul rumah ibadat mereka.
Setelah bunyi alunan musik sebagai pembuka berbunyi, ritual pun mulai dilakukan tanpa nyanyian, hanya diiringi musik ritmis gondang hasapi. Dengan takzim dan tangan tertutup di dada, mereka tunduk memuja Debata Mula jadi No Bolon. Ritual biasanya berlangsung ima jam tanpa henti, mulai pukul 12 siang sampai pukul 5 sore. Hanya diselingi tonggo-tonggo atau yang disebut dengan doa, tarian tor-tor, dan upacara persembahan.
Selain tradisi dan budaya, bagi kita yang melakukan perjalanan wisata di Huta Tinggi, kita pun dapat menikmati keindahan alamnya yang masih asri dan belum tercemar. Di kawasan ini pun kita dapat menemukan sebuah pemukiman yang masih tradisional dan tempat ritual masyarakat lokal seperti Bale paogit bagi masayrakat Permalim yang merupakan area sici atau yang dinamakan huta nabadia. Sekilas tempat ini seperti gereja dan sekaligu masjid. Bangunannya sendiri terlihat merip gereja, namun atapnya terlihat dalam bentuk kubah seperti masjid. Bentuk rumah mereka juga kebanyakan seragam dengan cat kuning dan berbentuk panggung.
Bila kita kita memiliki kesempatan melakukan perjalanan wisata budaya di kawasan ini, sebagai saran tambahan, jangan lupa untuk berkunjung ke Huta Tinggi. Dan temuilah para tetua Permalim untuk bersilaturahmi dan bertukar informasi di sana. Kita akan mendapatkan nilai-nilai luhur dalam kearifan lokal masyarakat setempat. Bukan perbedaan yang menolak mereka untuk menerima budaya dari luar, namun hanya sebuah nilai lebih pada penghormatan mereka kepada para leluhur nenek moyang yang telah lebih dulu menurunkan mereka dengan kepercayaan dan keyakinan seperti ini.
Dalam sebuah perbedaan, terdapat sebuah pesan norma dan moral yang dalam. Bagi kita yang mau membuka cakrawala pengetahuan untuk selalu belajar lebih mengerti dan menghormati, hal inilah yang akan menjadikan diri kita berpijak pada kebijakan hidup dan mersakan sebuah perbedaan merupakan rahmat dalam hidup berdampingan secara damai.[]